Jumat, 29 Juli 2011

Penaku Pena Bundaku

Kala panggilan suci menggema di udara, Sentuhan hangatmu mampu hilangkan kantuk di mata.
Kala surya beranjak tampakkan dirinya, Senyum indahmu mampu kobarkan semangat di dada.
Kala bintang dan bulan indah terlihat dari dunia, Cahaya cintamu tak kalah indahnya, bahkan lebih mempesona.
Namun, Bunda kini tlah jauh di mata. Sentuhan hangatmu tak lagi terasa, senyum indahmu terbias cahaya, pesona cintamu kini tinggal cerita.
Bunda, Begitu banyak pengorbananmu padaku, tanpa letih dan tanpa pamrih.
Seuntai sajak mengalir di atas lembaran buku harianku. Untuk sang bunda yang kini telah bersamaNya. Aku tak tahu persis sebab meninggalnya bunda, setahuku, setelah kejadian itu, ayah melarang keras aku untuk menulis, dan ayah selalu naik pitam ketika mendapati aku bersama dengan tulisanku. Ku coba mengingat kejadian kemarin sore.
Senja yang membahagiakan, dua karya cerpenku telah selesai ku tulis. Satu karya untuk persyaratan menjadi anggota FLP, dan satu karya lagi untuk lomba cerpen tingkat SMP. Tapi kebahagiaan itu serasa takkan lama. Ayah yang baru pulang dari kerja tiba-tiba merampas kedua cerpenku. Sempat terjadi tarik menarik antara kami berdua. Tapi aku tak sanggup kalau karyaku itu nanti jadi rusak. Ku relakan kedua cerpenku dirampas, dengan harapan ayah besok akan mengembalikannya.
Tapi lagi-lagi, kebahagianku dengan menulis seakan sudah tumbang. Sore itu juga aku melihat ayah di halaman belakang rumah sedang menyalakan api di pembuangan sampah. Hatiku terasa remuk saat melihat kedua cerpenku dirobek-robek dan dibakar oleh ayah. Air mataku tak terbendung lagi. Perasaan ini sudah meluap-luap bak kobaran api yang melahap kedua cerpenku. Aku marah dan bingung, kenapa ayah bisa sejahat itu.
“Non Ely, maaf, tugas mang Ujang sekarang apa ya?” tegur mang Ujang yang tak memperhatikan raut wajah sedihku.
Ya, semenjak saat pembakaran kedua cerpen itu, aku memutuskan untuk bersembunyi dari hadapan ayah. Walaupun untuk sementara, sekedar ingin tahu reaksi ayah saat kehilanganku. Aku pun merencanakan drama penculikan, dan mang Ujanglah yang jadi penculiknya. Mang Ujang terbilang pandai ber-acting, walaupun sebenarnya beliau hanyalah pembantu di rumahku.
“Oh iya, maaf mang Ujang, saya tadi melamun. Tugas mang Ujang hanya menelpon ayah dan berlaga seperti seorang penculik yang kayak sinetron di TV mang, bisa kan?” jawabku sambil mengusap ujung kelopak mataku yang masih basah.
“Hem. . . Ok, Ok Non. . . Misi siap dilaksanakan!” canda mang Ujang sambil hormat padaku. Walaupun sebelumnya mang Ujang takut-takut untuk meng-iyakan permintaanku. Tapi mau bagaimana lagi, mang Ujang aku ancam tidak akan ku beri izin pulang kampung saat lebaran tahun ini. He3x… Ya jelas saja mang Ujang dengan sedikit berat hati meng-iyakan rencanaku.
Tempat persembunyian yang cukup aman, di gudang belakang rumah. Walaupun rasa was-was selalu mengiringi, wajar saja. Lampu penerangannya hanya lima watt, suara tikus juga ikut menemani persembunyianku. Untung saja ada mang Ujang yang bersedia mengantarkan makan malamku dan sesekali menemaniku di gudang.
Di sudut gudang, ku dapati tas hitam yang tak asing di mataku. Ya, itu adalah tas kepunyaan Bunda. Segera ku dekati dan ku buka. Hufh, ternyata hanya lembaran koran bekas. Tapi baru ku sadari bahwa itu bukan sekedar koran bekas biasa. Semua koran itu adalah tulisan Bunda. Segera kutanyakan pada mang Ujang. Dari sanalah aku tahu bahwa bunda adalah seorang penulis yang handal. Dengan tulisannya bunda berani mengungkap kesalahan dan kecurangan para tikus-tikus berdasi. Wajar saja ibu guru pernah berkata bahwa aku mempunyai bakat jadi seorang penulis yang dahsyat layaknya bundaku.
*** *** ***
Pukul 21.00 WIB
Jarum jam tanganku kini telah menunjukkan waktu misiku dan mang Ujang dilaksanakan, yakni menelpon ayah. Hem… Tapi sebelum ayah kami telepon, aku meminta mang Ujang untuk mengikat tangan dan menutup mulutku dengan isolasi hitam, pikirku agar drama ini lebih terkesan nyata dan kami bisa lebih menjiwai.
Semua siap, misi dilaksanakan. Mang Ujang yang berlatih dari tadi kini telah memulai obrolan dengan tawa ala penculik. Dari seberang ayah bertanya dengan nada cemas sambil mencoba teriak memanggil-manggil mang Ujang. Ayah kalut, bingung butuh bantuan, tapi pada siapa. Aku hanya tertawa geli saat mang Ujang menyebutkan tebusan atas penculikanku. Seratus lima puluh juta Rupiah. Tawar menawar pun terjadi antara ayah dan mang Ujang. Kalau masalah uang, mang Ujang adalah masternya, segala hal bisa terlupakan.
Dari balik gudang terdengar sayup-sayup suara ayah yang memanggil-manggil mang Ujang, dan lama kelamaan suara itu terasa semakin mendekat. Karena sudah bicara masalah uang, mang Ujang pun tak menghiraukan suara ayah yang mendekat. Aku tak bisa apa-apa. Tangan dan mulutku tertutup rapat. Waduh, ide buruk siapa tadi yang memintaku untuk diikat dan ditutup mulut? Aku pun hanya menghentak-hentakkan kaki memberi isyarat pada mang Ujang untuk segera berhenti bicara. Tapi apalah daya, mang Ujang telah lupa dengan segalanya dan tak mau diganggu sama sekali.
“Kreek….” Pintu gudang perlahan terbuka.
Alangkah terkejutnya kami saat tahu kalau yang membuka pintu adalah ayah. Raut wajahnya yang sangat cemas lambat laun tersenyum. Sadar dengan hal apa yang sedang terjadi. Bergegas ayah mendekatiku dan melepaskan ikatan tanganku. Satu pelukan hangat sang ayah malam ini. Isak tangis ayah pun tak terbendung lagi. Air mataku juga perlahan ikut menetes.
“Ely anakku, maafkan ayah. Tolong jangan tinggalkan ayah seperti ini lagi. Ayah tidak mau hanya karena tulisan, lagi-lagi ayah harus kehilangan orang yang paling ayah cintai. Ely, ayah tak mau hal yang terjadi pada ibumu juga terjadi padamu. Para koruptor dan pembunuh bayarannya pada malam itu membuat rekayasa kecelakaan atas bundamu, padahal semuanya asli pembunuhan. Para aparat yang seharusnya membela yang lemah pun tak berkutik sama sekali, mereka diikat oleh uang dan hadiah. Hingga berita kematian bundamu hilang, ikut terkubur dalam hitamnya pemerintahan negeri ini. Tapi baiklah, Ayah percaya padamu. Teruslah menulis Nak!!!”
*** *** ***
Mentari pagi hari ini hangat menyongsong dari arah Timur. Senyuman indahku pun terlukis manis di cermin. Seorang aktivis dakwah lewat tulisan kini telah dewasa. Allahu Akbar!