Kamis, 09 Desember 2010

Cerpen

Indahnya Persahabatan


Malam kini telah menampakkan dirinya. Sunyi sepi yang biasanya menghiasi malam kini terganti dengan suara para santri Pon-Pes Darun Najah. Silih berseru, bergumam bak lebah. Setiap penerangan dipenuhi oleh para santri yang sibuk dengan buku dan bacaanya yang mengesankan. Bagaimana tidak, pelajaran mereka semua berbahasa Arab. Hanya santri yang tak punya rasa ingin berprestasi saja yang asyik mengobrol di tempat remang-remang.

Aku pun tak mau kalah. Aku juga berusaha untuk belajar dengan giat. Walaupun aku kenyataannya masuk dalam kelas B, kelasnya anak-anak yang mempunyai nilai yang tak terlalu bagus. Itu berawal dari kesalahanku. Tahun kemarin aku tak menghiraukan ujian, malah asyik bermain game. Menyedihkan. Memanglah penyesalan itu datangnya terakhir. Tapi kini aku berbeda, aku juga sudah berjanji pada orang tuaku. Kalau tidak dapat juara dua atau tiga, juara satu juga tak apa-apa. Hehehehe. . .

Teman sekelasku sebagian besar termasuk anak-anak yang tak begitu berminat dengan yang namanya belajar. Jadi saat-saat genting sebelum ujian seperti ini mereka sama sekali tak melirik buku-buku mereka. Hanya saat tengah malam saja aku pernah mendapati mereka serius dengan buku-buku dan catatan mereka. Entahlah, aku tak mengerti. Apakah saat tengah malam saja mereka khususkan untuk belajar? Atau jangan-jangan? Ah, sudahlah. Cepat-cepat ku buang pikiran buruk itu. Toh esok juga udah mulai ujian. Aku harus konsetrasi penuh.

*** *** ***

Pagi yang menyenangkan. Sejak duduk di bangku SD sampai sekarang menginjak ke kelas tiga MA, aku sangat senang sekali dengan ujian. Entah kenapa rasa bahagia itu timbul begitu saja. Rasa yakin dan percaya diri memenuhi urat syarafku. Hati ini pun berdebar kencang. Mungkin aku mengalami penyakit kronis demam liburan. Toh, setelah ujiankan pastinya ada hari libur. Mungkin karena itulah aku jadi senang ujian. Hehehe. . .

Peralatan berperang pun sudah ku siapkan sejak beberapa hari yang lalu. Tapi peralatan perang di sini bukan bermaksud berang betulan, tapi perang di sini bermakna perjuangan. Perjuangan ilmu dalam pengujian. Apa yang telah aku dapatkan selama duduk di kelas? Jangan-jangan hanya omong kosong belaka kalau aku sudah layak duduk di bangku Aliyah kelas tiga. Tentu tidak. Hafalan demi hafalan dan pemahaman pelajaran telah ku kuasai jauh-jauh hari. Berat, tapi aku yakin pasti bisa menjalaninya. Bala bantuan do’a pun telah ku pesan pada kedua orang tuaku. Sekarang tinggal aku saja yang berusaha. Bisa atau tidak.

Lonceng tanda di mulai ujian telah berbunyi. Semua murid di kelas hadir dengan tertib. Tak ada satupun yang absen. Tentu. Yang sedang sakit saja bisa jadi sehat karena hari ujian. Jadi ujian memang membawa berkah. Teman-temanku terlihat tidak tegang seperti aku. Mereka lebih santai dan enjoy. Aku heran, ada apa dengan mereka?

Di tengah ujian berlangsung, teman yang duduk di depanku terlihat risih. Karena rasa ingin tahuku, akhirnya ku putuskan untuk melihat ke arah depan sejenak. Dan sangat terkejutnya aku, teman yang duduk di depanku ternyata membawa kertas mungil dengan tulisan-tulisan yang juga mini. Aku tercengang, kaget. Dia berani sekali. Padahal hukuman bagi yang mencontek akan diberi nilai nol. Cepat-cepat ku fokuskan pikiranku pada lembar soal.

Setelah hampir selesai mengerjakan soal, tinggal satu soal lagi yang masih tersisa, karena aku masih bingung dengan maksud soal tersebut. Akupun memutuskan untuk beristirahat sejenak. Merenggangkan urat-urat syaraf yang tadi bergelut keras dengan bacaan dari soal ujian.

Hanya melihat ke kiri dan ke kanan, reflesing sementara. Tapi, pandanganku terhenti pada sebuah tampilan yang mengaketkan untuk yang ke-dua kalinya. Temanku yang berada di dekat dinding asyik melihat ke arah dinding di sebelahnya. Ya, di dinding tersebut juga dia telah menyalin apa-apa point penting dari ujian hari ini. Melihat ke arah kanan, ternyata temanku juga asyik dengan tulisan di kakinya. Ke arah belakang dan depan juga begitu. Malahan yang lebih menyedihkan, mereka membawa buku-buku mereka.

Tak terasa mataku sembab. Air mata ini tak tahan menetes perlahan. Hatikupun perih meringkis. Di mana? Di mana jiwa pelajar yang sebenarnya? Aku malu pada orang tuaku. Aku khawatir tidak bisa menepati janji manis itu. Aku hanya menangis, hingga lembar jawabankupun basah kena tetesan air mata ini. Tangisku terhenti.

“Umar, ada apa? Kenapa kamu menagis? Kamu sakit?” Tanya Pak guru pengawas ujian sambil mendekati aku.

Cepat-cepat ku hapus air mata dengan lengan bajuku. Tak mau terlihat cengeng.

“Tidak Pak, aku hanya bingung dengan soal nomor sembilan, aku tidak tahu maksud soalnya.” Jawabku sambil menunjukkan lembar soal.

“Owh… Ini maksudnya begini,--“ jelas Pak guru.
“Terimakasih Pak…”

“Iya sama-sama”

Sebenarnya aku ingin mengatakan aku sedang sakit, sakit hati. Teman-temanku terlalu pintar, pintar dalam hal mencontek.

*** *** ***

Malam ini malam yang memilukan. Aku ingin bersepi sendiri. Menenangkan hati yang retak karena ulah teman-temanku. Aku sama sekali tak menujukkan rasa sakit hati ini, tapi aku lebih memilih untuk memendamnya sendiri. Di taman dekat tower air aku duduk meratapi. Kenapa mereka bisa berbuat itu? Selancang itu? Aku hanya tertunduk dengan tetesan air mata.

“Umar!” suara seorang sahabat dekatku sambil menepuk pundakku lemut. Aku pun menoleh sebelum mengusap air mata perlahan.

“Eh, Jaka. Kenapa? Kamu tidak belajar?” Tanya ku langsung bak orang heran.

“Wah, semestinya aku lowh yang bertanya seperti itu ke kamu. Ada apa denganmu? Ada masalah? Cerita aja Umar! Insya’ Allah kalau kita udah ungkapkan masalah kita tersebut pada seseorang, bisa di pastikan masalah tersebut telah berkurang 40%.” Jelas Jaka, karena dia sudah tahu banyak tentang diriku. Dia juga bisa menebak isi hati dari pancaran wajah dan pandanganku. Dia teman baikku. Tapi kami tidak sekelas lagi. Jaka masuk kelas A.

“ Iya, sebenarnya aku,--“ puas aku bercerita pada Jaka, dan perkataannya tadi pun benar. Bisa ku rasakan sekarang. Hatiku mulai tenang. Apalagi dengan kata-kata masukan darinya.

Sebelum kami memutuskan untuk pulang ke kamar, Jaka menahan langkahku.

“Umar, kamu tahu hari ini tanggal berapa? Bulan apa?”

Dengan sedikit mengingat-ingat aku menjawab.

“Em. . .hari ini tanggal 11 Agustus. Emangnya ada apa?”

“Hufh. Sobat, hari ini adalah hari ulang tahunmu.”

Mata ku sempat berkaca-kaca, tapi sebelum menumpahkan isinya cepat-cepat ku bendung. Karena Jaka langsung mengeluarkan sebuah kado yang indah.

“Ini untukmu sobat. Boleh dibuka sekarang.” Kata Jaka sambil menyerahkan kado indah darinya.

Aku tak mampu berkata apa-apa. Tanganku terasa dingin menerima kado dari Jaka. Aku bersyukur sekali mempunyai sahabat seperti dia. Dan segera ku buka bungkus kadonya. Dan saat setelah itu hatiku pun sangat bahagia.

Sebuah buku dari percetakan Pro-U Media dengan judul Zero to Hero ber-cover hitam dan kuning Jaka persembahkan untukku. Dari judulnya aku tidak terlalu faham maksud penulis bukunya. Tapi Jaka langsung menjelaskan pula kenapa buku ini dihadiahkan untukku. Sebuah buku untuk melejitkan semangat yang tinggi. Dimulai dari nol hingga kita bisa mencapai angka yang tinggi. Intinya Jaka menyuruhku untuk membaca dan mempraktekkan maksud buku tersebut.

Terdapat foto kami berdua dan catatan kecil di halaman pertamanya.

11 Agustus 2008

Selamat Ultah ke-17 tahun.

Untuk sahabat sejatiku, semoga bertambah dewasa dalam segala hal. Jadilah yang terbaik. Aku yakin kamu bisa! Bacalah buku ini dan resapi apa yang tertulis, lalu lakukan apa yang harus kamu lakukan! OK!

Jagalah persahabatan kita sebagai jalan menuju syurga-Nya.

*** *** ***

Suara adzan terdengar merdu menghiasi datangnya waktu shalat Subuh. Sejukpun memenuhi relung hati. Shalat Subuh kami laksakan secara tertib. Salam dari Imam akhirnya mengisyaratkan kami selesai menunaikan shalat Subuh. Saat kami bergegas bersiap pulang ke kamar, terdengar suara pengumuman,

“Santri-Santriwati diharapkan untuk menetap! Karena akan ada taujih (ceramah) singkat dari Ustadz Solikhin Abu Izzudin, penulis buku Best Seller dengan judul Zero to Hero.”

Mataku melotot ke arah Jaka yang duduk di sebelahku. Penulis buku yang dihadiahkan Jaka semalam ternyata Subuh ini menyempatkan berbagi ilmu bersama kami. Indahnya lebih terasa sekarang.

Beliau banyak membagi ilmunya dari kami. Berbagi pengalaman dan pengetahuan. Beliau juga sosok yang kental dengan ke-Islaman. Beliau seorang yang bersemangat tinggi, bak semangat 45. Bagaimana tidak? Sambil berbicara di depan kami, beliau tidak sungkan-sungkan untuk meloncat-loncat dan mondar-mandir ke sana-ke mari. Tanpa ragu dan bimbang dia memberikan kami motivasi yang tinggi.

Dan satu pelajaran yang sangat berharga bagiku. Sebelum kita menjadi tinggi, kita harus berani untuk ke bawah dulu. Contohnya sebuah lompatan. Lompatan itu tidak akan tinggi sebelum kita mengambil ancang-ancang dari bawah.

*** *** ***

“Assalamu’alaikum. Wr. Wb. . .” salam pak guru kepada para wali dan teman-temanku yang telah berkumpul di kelas.

“Walaikumsalam. Wr. Wb. . .” jawab kami serentak.

“Terimakasih kepada Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang sempat hadir dalam acara pembagian rapot kelas tiga B MA ini. Sehubungan dengan itu,--“ pembukaan dari pak Guru.

“Dan yang terakhir, acara yang telah kita tunggu-tunggu, yakni pembacaan juara-juara kelas. Baiklah, langsung saja.”

Waktu serasa berputar lambat bagi kami, tarikan nafas kian menyempit menunggu kata perkata dari pak Guru.

“Untuk juara satu kelas tiga B MA yakni saudara, Umar As-Syuja’. Kepada wali dan saudara Umar agar dapat maju mengambil hadiah dari kami.”

Mata ku berbinar tak percaya. Tepuk tangan dari sahabat dan para wali pun menambah luapan air mataku untuk tumpah. Terimakasih sahabatku. Terimakasih Bapak Solikhin. Terimakasih Pro-U Media.

Sekian.


MY BIODATA

Nama : M. Bary Irama

Mahasiswa : UIN Sunan Kalijaga

Alamat : Gondokusuman, GK.I, No.461, Yogyakarta

No Hp : 08197852069

FB : akhgareth.irama91@gmail.com

1 komentar:

  1. Hayo di komentarin klo udah buka situsnya. . . .
    Cz sangat dibutuhkan. . . .
    Syukron. . . .

    BalasHapus